I. Selayang Sejarah Pemerintahan
Pesisir
Barat provinsi Lampung, pada zaman penjajahan merupakan salah satu daerah Afdeeling dibawah resident Bengkulu.
Dari zaman dahulu pesisir barat Lampung sudah mempunyai pelabuhan yang ramai,
banyak kapal-kapal besar dari berbagai daerah datang ke pelabuhan itu. Pelabuhan
itu berada di muara Way Krui di pekon Pedada-Penggawa Lima. Krui disebut dalam
Peta pelayaran nusantara pada 1411 M bahwa di Pulau Sumatera hanya terdapat
beberapa kota pelabuhan antara lain: kota pelabuhan Pasee (NAD), Andripura
(Indrapura, Riau), Manincabo (Padang, Sumbar), Lu-Shiangshe (Provinsi
Bengkulu), Krui, Liamphon (Lamphong atau Lampung), Luzupara (Kemungkinan daerah
Tulang Bawang atau Manggala), Lamby (Jambi), dan nama negeri Crïviyäyâ terletak
di Musi Selebar. (dikutip dari: “Bengkulu dalam sejarah Maritim Indonesia”)
Kerajaan Penggawa Lima adalah cikal bakal berdirinya daerah Krui, mereka adalah kaum perintis yang pertama kali membuka penghidupan di Krui, walaupun pada saat ini masyarakat Krui sendiri sangat majemuk dan beragam berasal dari berbagai daerah.
Kerajaan Penggawa Lima adalah cikal bakal berdirinya daerah Krui, mereka adalah kaum perintis yang pertama kali membuka penghidupan di Krui, walaupun pada saat ini masyarakat Krui sendiri sangat majemuk dan beragam berasal dari berbagai daerah.
Menurut cerita dari nenek moyang yang dituturkan secara turun temurun, penulis mencoba menyusun cerita-cerita yang masih tersebar didalam masyarakat dan merangkainya menjadi tulisan. Seperti kebanyakan penduduk di daerah Lampung lainnya, nenek moyang orang Krui sebagian besar juga datang dari Skala Brak, tetapi untuk keluarga kerajaan Penggawa Lima nenek moyang mereka berasal dari Banten.
Lampung pada masa lampau merupakan rumah kedua bagi kesultanan Banten, hal ini seperti disebutkan dalam Piagam Bojong, bahwa pada tahun 1500–1800 M, Lampung dikuasai oleh Kesultanan Banten.
Tersebutlah
kisah LUMIA RALANG, seorang kesatria yang gagah perkasa, dari Pantau Kota Besi,
sebenarnya nenek moyang Lumea Ralang berasal dari salah satu keluarga kerajaan
Banten yaitu PANGERAN TANAH JAYA (masih keturunan dari Pangeran Jaya Lelana)
yang mencari tanah untuk penghidupan yang lebih baik.
Mereka berlayar dari Banten dan terdampar di Manna, Bengkulu, setelah beberapa lama tinggal di Manna mereka meneruskan perjalanan dan sampai di Semende Makekau dan mereka juga menetap, membuka lahan pertanian dan perkebunan disana. Dari Semende Makekau mereka pindah lagi ke Rantau Nipis, Ranau dan mendirikan kerajaan kecil disana, tetapi karena kehidupan di Ranau belum berpihak kepada mereka, mereka pun pindah lagi ke Salipas, Sukau. Setelah sekian lama menetap di Salipas, Sukau, Raja Sukau meminta mereka agar tunduk dibawah kekuasaan Raja Sukau. Akhirnya mereka pindah lagi ke Pantau-Kota Besi, disini mereka hidup rukun, berdampingan dan berakulturasi dengan masyarakat Skala Brak.
Tidak
lama kemudian Pantau Kota Besi pun akan dipengaruhi oleh Raja Belalau yang
mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Pagaruyung. Karena hal itu Lumea Ralang
yang pada saat itu akan mewarisi kerajaan Ayah, berniat mencari tanah baru
untuk memindahkan kerajaan kecilnya.
Suatu
ketika, berangkatlah Lumia Ralang dan pasukannya mencari tanah baru, bersama
dengan saudara-saudaranya yang masih ada hubungan darah dengan beberapa Raja
dari kepaksian Paksi Pak Sekala Brak antara lain :
1.
Raja Panglima dari Senangkal, Banding
2.
Raja Nurkadim dan Raja Belang dari Way Tegaga
3.
Raja Penyukang Alam dari Kageringan
4.
Raja Nungkah Nungkeh Degom Pemasokrulah dari Teratas
Mereka
berjalan masuk hutan dan menyusuri hulu sungai (way) Laay, sesampainya mereka
di muara way Laay, mereka sangat terkejut mendengar suara gemuruh, setelah
diperiksa ternyata mereka melihat danau yang sangat besar dengan airnya yang
bergulung-gulung ke darat dan rasanya asin. Sepanjang hari mereka mengamati air
laut itu.
Kemudian mereka berjalan ke selatan salah satu anak way krui yaitu way sakera dan mereka menemukan banyak sekali kera-kera. Mereka memanggil-manggil kera dengan teriakan kera ui.. kera ui, kera ui…, kera ui. Di tempat itulah mereka untuk sementara mendirikan gubuk-gubuk, dan mereka menyebutnya tempat kera ui, akhirnya sungai yang besar disitu mereka sebut dengan way Krui (dari sinilah kata krui berasal.)
Mereka memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada kerajaan lain yang berkuasa, mereka berjalan kearah utara sampai pada Muara Tanda Batas Bintuhan, dan kearah selatan sampai Way Meluang, batas Semangka. Sepanjang daerah tersebut mereka tidak menemukan seorangpun apalagi kerajaan. Mereka juga berjalan ke timur masuk ke dalam hutan, didalam hutan mereka bertemu dengan suku tumi (suku kubu/suku anak dalam), dan suku tumi itu lari masuk ke Hutan. Ternyata pada malam harinya suku tumi itu datang merampas persediaan makan mereka, akhirnya terjadilah perang diantara keduanya. Sampai akhirnya suku tumi berhasil dikalahkan dan sebagian lari masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali lagi.
Kemudian mereka berjalan ke selatan salah satu anak way krui yaitu way sakera dan mereka menemukan banyak sekali kera-kera. Mereka memanggil-manggil kera dengan teriakan kera ui.. kera ui, kera ui…, kera ui. Di tempat itulah mereka untuk sementara mendirikan gubuk-gubuk, dan mereka menyebutnya tempat kera ui, akhirnya sungai yang besar disitu mereka sebut dengan way Krui (dari sinilah kata krui berasal.)
Mereka memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada kerajaan lain yang berkuasa, mereka berjalan kearah utara sampai pada Muara Tanda Batas Bintuhan, dan kearah selatan sampai Way Meluang, batas Semangka. Sepanjang daerah tersebut mereka tidak menemukan seorangpun apalagi kerajaan. Mereka juga berjalan ke timur masuk ke dalam hutan, didalam hutan mereka bertemu dengan suku tumi (suku kubu/suku anak dalam), dan suku tumi itu lari masuk ke Hutan. Ternyata pada malam harinya suku tumi itu datang merampas persediaan makan mereka, akhirnya terjadilah perang diantara keduanya. Sampai akhirnya suku tumi berhasil dikalahkan dan sebagian lari masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali lagi.
Setelah
menyusuri semua pejuru daerah baru tersebut mereka memutuskan bahwa sepanjang
daerah pesisir dari Muara tanda batas Bintuhan sampai way Meluang, batas
Semangka, itulah tanah bakal tempat anak cucu mereka bercocok tanam dan
berkebun.
Tetapi tanah yang baik untuk tempat tinggal dan tempat mendirikan kerajaan adalah dari Way Mahenai sampai Way Hanuwan. Akhirnya mereka mendirikan kerajaan yang diberi nama PENGGAWA LIMA, karena didirikan oleh lima orang punggawa. Hal ini juga seperti diceritakan dalam sejarah Sumatera berikut : William Marsden, The History of Sumatera, chapter 16 page 236 GOVERNMENT. The titles of government are pangeran (from the Javans), kariyer, and kiddimong or nebihi; the latter nearly answering to dupati among the Rejangs. The district of Kroi, near Mount Pugong, is governed by five Masing –masing punggawa menempat setiap pejuru tanah penggawa yaitu :
Tetapi tanah yang baik untuk tempat tinggal dan tempat mendirikan kerajaan adalah dari Way Mahenai sampai Way Hanuwan. Akhirnya mereka mendirikan kerajaan yang diberi nama PENGGAWA LIMA, karena didirikan oleh lima orang punggawa. Hal ini juga seperti diceritakan dalam sejarah Sumatera berikut : William Marsden, The History of Sumatera, chapter 16 page 236 GOVERNMENT. The titles of government are pangeran (from the Javans), kariyer, and kiddimong or nebihi; the latter nearly answering to dupati among the Rejangs. The district of Kroi, near Mount Pugong, is governed by five Masing –masing punggawa menempat setiap pejuru tanah penggawa yaitu :
1.
Raja Penyukang Alam ditempatkan di Cukuh Mersa (Bandar)
2.
Raja Panglima ditempatkan di Pekon Teba (Perpasan)
3.
Raja Nurkadim ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Balak – Laay)
4.
Raja Belang ditempatkan di Pematang Gedung (Pekon Laay).
5.
Raja Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah ditempatkan di Pagar Dewa (Bah Binjai).
Pada masa kekuasaan Inggris di Nusantara tahun 1811 – 1816, wilayah pesisir barat Lampung dengan pusat pemerintahan dan pusat aktifitas ekonominya di Krui dimasukkan dalam wilayah administrasi Regenschap (Karesidenan) Bengkulu. Pada saat terjadi penjanjian London tahun 1864 (Tractat London) yang mengakhiri perang di Eropa antara Inggris dan Belanda, maka dilangsungkanlah pertukaran daerah jajahan. Belanda memperoleh Bengkulu dan berhak meluaskan jajahannnya ke arah utara dari pulau Sumatera, sedang Inggris diakui haknya oleh Belanda atas Malaka dan Tumasik atau Singapura.
Pada masa kekuasaan Inggris di Nusantara tahun 1811 – 1816, wilayah pesisir barat Lampung dengan pusat pemerintahan dan pusat aktifitas ekonominya di Krui dimasukkan dalam wilayah administrasi Regenschap (Karesidenan) Bengkulu. Pada saat terjadi penjanjian London tahun 1864 (Tractat London) yang mengakhiri perang di Eropa antara Inggris dan Belanda, maka dilangsungkanlah pertukaran daerah jajahan. Belanda memperoleh Bengkulu dan berhak meluaskan jajahannnya ke arah utara dari pulau Sumatera, sedang Inggris diakui haknya oleh Belanda atas Malaka dan Tumasik atau Singapura.
Tahun 1817 Pemerintah Kolonial Belanda
meresmikan terbentuknya Karesidenan Lampung (Lampongsche
Districten) di bawah seorang residen yang
berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian pindah ke Telukbetung. Untuk
melengkapi struktur pemerintahan, tahun 1873, Belanda membagi Lampung menjadi 6 onderafdeling (kawedanan).
Karena kebutuhan manajemen kekuasaan yang semakin kompleks, tahun 1917 Belanda
melengkapi struktur pemerintahan di Lampung menjadi 2 afdeling:
Telukbetung dan Tulangbawang dengan 6 onderafdeling, yakni
Telukbetung, Semangka, Katimbang, Tulangbawang, Seputih, dan Sekampung.
Karesidenan Bengkulu juga dibagi menjadi
beberapa wilayah pemerintahan Afdelling, Onderafdelling,
dan Distrik. Salah
satuOnderafdelling itu adalah Onderafdelling Krui,
yang kala itu wilayahnya
meliputi seluruh daerah Lampung Barat sekarang. IbukotaOnderafdelling Krui
adalah Distrik Krui,
yang berada di pesisir Lampung Barat. Tahun
1928 struktur kekuasaan lokal marga dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan,
berkedudukan di bawah onderafdeling melalui ordonansi
Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan.
Pada masa pemerintah pendudukan Jepang
menguasai Bengkulu dan Lampung tahun 1942, daerah Onderafdelling Krui
dikembalikan ke dalam Regenschap Lampung,
karena secara etnik, adat-istiadat dan bahasa penduduk Onderafdelling Krui
termasuk dalam rumpun etnik Lampung. Peristiwa
penggabungan dan penyerahan itu dilaksanakan di Liwa pada tahun 1944. Syucokan (penguasa
militer Jepang) Bengkulu datang ke Liwa untuk menyerahkan Onderafdelling Krui
ke dalam Karesidenan Lampung yang diterimaSyucokan (penguasa
militer jepang) Lampung. Sejak
saat itulah eksistensi Krui sebagai pusat politik pemerintahan dan perdagangan
di pesisir barat Lampung berada di bawah administratif pemerintahan penguasa
militer Jepang di Liwa, Lampung.
Peristiwa penggabungan tersebut diikuti
dengan beberapa perubahan, yaitu bahwa daerah onderafdeeling krui dinaekkan statusnya
menjadi Ken (setingkat bunshu atau
Kabupaten) dengan
ibukota-nya di Liwa, yang berada di bawah pemerintahan
penguasa militer Jepang di Lampung. Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945) Lampung dibagi dalam 3 bunshu (kabupaten),
yakni Telukbetung, Metro, dan Kotabumi. Setiap bunshu atau kabupaten terdiri
dari beberapa kawedanan (gun)
yang membawahi marga-marga.Kedudukan Ken Krui dalam pemerintahan sejajar
dengan 3 bunshu yang
sudah dibentuk sebelumnya oleh
pemerintah militer Jepang di Lampung saat itu. Namun
sayangnya kota Krui hanya menjadi pusat pemerintahan kawedanan (gun) Krui
di bawah bunshu(kabupaten)
Krui yang ber-ibukota di Liwa. Kota Kawedanan (gun)
Krui hanya membawahi marga-marga yang ada wilayah di pesisir barat Lampung.
Pada tahun 1946, berdasarkan surat
keputusan Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan tertanggal 17 mei 1946
nomer 113, maka struktur pemerintahan pada tingkat Karesidenan hingga tingkat
paling bawah di seluruh Pulau Sumatera adalah meneruskan struktur
pemerintahan yang sudah ada sebelumnya (Belanda dan Jepang). Sistem
pemerintahan marga di kota Kawedanan Krui Tahun
1947 mengalami perubahan. Sistem
pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya
pada 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di
Sumatera Barat. Kota Kawedanan Krui
dengan berpusat di kota kawedanan Krui dimasukkan ke dalam administratif
pemerintahan Kabupaten Lampung Utara, di bawah Karesidenan Lampung. Wilayah
pemerintahan kawedanan Krui meliputi negeri pesisir selatan, negeri pesisir
utara, negeri balikbukit.
Sistem nagari ternyata tidak dapat
berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga
berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat
kecamatan. Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk
nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya
Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah
menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia. Meskipun
demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih
hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal masyarakat
pesisir barat Lampung.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
agar tidak terjadi kemacetan administrasi pemerintahan, maka Negara Proklamasi
Republik Indonesia pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan instruksi bahwa
seluruh kantor pemerintahan dan jawatan berikut pegawai-pegawai yg sudah ada
sebelumnya supaya menaikkan bendera Merah Putih di tempat kedudukan
masing-masing serta tetap menjalankan aktifitas sebagai kantor pemerintahan dan
kantor jawatan-jawatan pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk.
Pegawai-pegawai yang ada di dalamnya adalah menjadi pegawai negeri Pemerintah
Indonesia.
Pada tahun 1948 pemerintah pusat RI
mengeluarkan Undang-Undang (UU) No.10/1948 yang membagi Pulau Sumatera ke dalam
tiga pemerintahan Propinsi, yaitu: Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Sumatera
Tengah, dan Propinsi Sumatera Selatan. Karesidenan Lampung masuk dalam bagian
Propinsi Sumatera Selatan dengan ibukota pemerintahan yang berkedudukan di
Palembang. Gubernur pertama dari
Propinsi Sumatera Selatan adalah Dr.
M. Isa.
Sesuai dengan instruksi pemerintah RI
pusat 5 September 1945, maka seluruh pemerintahan yang sudah ada dan sedang
berjalan di daerah-daerah sejak sebelum proklamasi tetaplah dipertahankan
sebagai pemerintahan yang sah di daerah-daerah tersebut atas nama pemerintah
pusat Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pemerintahan
Karesidenan Lampung tetaplah diteruskan berjalan di bawah kepemimpinan Mr.
Abbas.
Ada satu hal yang tidak dapat terlupakan oleh
sejarah bahwa di Lampung kemudian terjadi peristiwa “pendaulatan” Mr. Abbas beserta
beberapa kepala jawatan yang ada di Karesidenan Lampung dari jabatan dan
tugas-tugasnya. Peristiwa ini terjadi pada 9 September 1946 yang dipelopori
oleh apa yang menamakan diri sebagai Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM). Mereka
kemudian menetapkan secara sepihak Dr. Badriel Munir sebagai Residen Lampung
yang baru dan Ismail (seorang Inspektur Sekolah Rakyat) Sebagai wakil Residen.
Alasan pendulatan adalah bahwa tidak dapat mempercayakan kekuasaan pemerintahan
kepada mantan pejabat dan pegawai pemerintahan kolonial asing. Hal ini
sebenarnya bertentangan dengan Instruksi Pemerintah tertanggal 5 September
1945. Namun dengan melihat perkembangan yang ada di lapangan, maka Dr. Badriel
Munir diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat sebagai Residen Lampung. Namun,
restu keberadaan Ismail selaku Wakil Residen Lampung tidak diberikan oleh
pemerintah pusat, dan dikirimlah seorang dari Pemerintah Pusat Jakarta, yaitu
Raden Rukadi sebagai Wakil Residen Lampung. Tanggal 29 November 1947 Dr.
Badriel Munir mengundurkan diri dari jabatannya selaku Residen Lampung.
Selanjutnya Raden Rukadi diangkat mejadi Residen Lampung, dan selaku wakilnya
diangkatlah R.A. Basjid sebagai Wakil Residen.
19 Desember 1948 terjadi Agresi Militer
Belanda ke II, dan seluruh kota-kota besar di Karesidenan Lampung berhasil
dikuasai Belanda. Berdasarkan keputusan DPR Karesidenan Lampung, bila
Telukbetung sebagai ibukota Karesidenan Lampung diserang dan diduduki Belanda
maka Residen Lampung harus menyingkir ke daerah Pringsewu, dan Wakil Residen
harus tetap tinggal di Tanjungkarang untuk menjalankan pemerintahan sementara.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, R.A Basjid selaku Wakil Residen justru
pergi meninggalkan Tanjungkarang menyingkir ke Menggala melalui daerah Kasui.
Akibatnya Raden Rukadi selaku Residen Lampung ditangkap oleh Belanda dan
dinyatakan oleh Belanda bahwa Lampung secara penuh adalah daerah milik Belanda.
Oleh pimpinan partai-partai dan pimpinan
militer Republik Indonesia yang ada di Lampung bersama anggota DPR Karesidenan Lampung
ditunjuk dan diangkatlah Mr. Gele Harun sebagai Residen Lampung yang kedudukan
pemerintahannya berpindah-pindah dari Talang Padang – Way Tenong – Bukit
Kemuning. Setelah perjanjian Roem Royen disetujui dan Tanjungkarang harus
dikosongkan oleh Belanda, maka pemerintahan Karesidenan Lampung di
Tanjungkarang dipulihkan dengan Mr. Gele Harus sebagai Residennya.
Pada masa agresi Belanda kedua, daerah Kawedanan
Kota Krui berikut daerah-daerah wilayah administratif-nya di pesisir baratLampung tidak
sempat diduduki Belanda, meskipun daerah-daerah lain di Karesidenan Lampung
telah jatuh ke tangan Belanda. Berdasarkan pertimbangan letak strategisnya yang
dekat dengan Palembang, maka daerah pesisir barat Lampung oleh pemerintah
Republik Indonesia dijadikan daerah basis perjuangan militer dan basis
pemerintahan darurat militer Republik Indonesia untuk Karesidenan Sumatera
Selatan, ketika Palembang sebagai pusat pemerintahan sipil Karesidenan Sumatera
Selatan jatuh ke tangan Belanda. Artinya, secara administratif kota Kawedanan
Krui dan daerah-daerah pesisir barat Lampung saat kondisi darurat itu
ditempatkan kedudukannya berada di bawah pemerintah darurat militer Sumatera
Selatan.
Pasca penyerahan kedaulatan seluruh wilayah
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat (RIS) tanggal 17 Agustus 1949, daerah
pesisir barat Lampung kembali dimasukkan ke dalam administrasi Kabupaten
Lampung Barat sebagai bagian dari Karesidenan Lampung. Pada tanggal 10 Februari
1950 pemerintah darurat Sumatera Selatan menyerahkan kedaulatan pemerintahannya
kepada Republik Indonesia di Yogyakarta serta menyatakan setia pada Republik
Indonesia. Pada tingkat nasional, tanggal 17 Agustus 1950 DPR RIS, Senat RIS,
Presiden RIS (Ir. Soekarno), dan Presiden Republik Indonesia (Mr. Asaat)
menandatangani Piagam Persetujuan pembentukan NKRI yang wilayahnya meliputi
seluruh wilayah bekas RIS. Pada tanggal itu pula Mr. Assaat menyerahkan kembali
jabatan Presiden RI kepada Ir. Soekarno.
Permasalahan muncul di wilayah pesisir barat
Lampung, karena letaknya yang berdekatan dengan kota Palembang dan Karesidenan
Bengkulu, maka untuk menetapkan status keberadaan administratif pemerintahannya
dilakukanlah dengan cara plebisit
atau pemungutan suara. Pada tanggal 1 Januari 1951 dilaksanakanlah plebisit di daerah
pesisir barat Lampung. Plebisit diikuti sebanyak
50 kepala kampung. Hasil dari pelaksanaan
plebisit tersebut ternyata 46 kampung yang memilih bergabung dengan Karesidenan
Lampung, 2 kampung memilih bergabung dengan Karesidenan Bengkulu dan 2 kampung
lain memilih bergabung ke Palembang. Sehingga sejak tanggal 1 Januari
1951, dalam administrasi pemerintahan, daerah pesisir barat Lampung secara
resmi masuk kembali kedalam wilayah Kabupaten Lampung Utara, Karesidenan
Lampung karena secara kultural memang penduduk Kabupaten Lampung Barat
berbahasa dan berbudaya Lampung.
Pada saat Lampung memperoleh statusnya
sebagai daerah Propinsi pada tanggal 13 Februari 1964
yang didasarkan pada keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 3/ 1964 tentang
pembentukan daerah Swatantra Tingkat I Lampung, maka secara otomatis daerah
pesisir barat Lampung kembali masuk menjadi bagian Kabupaten Lampung Utara dari
Propinsi yang baru, yaitu Propinsi Lampung. Naiknya status Lampung dari sebuah
Karesidenan menjadi sebuah Propinsi merupakan modal yang besar untuk
berkesempatan lebih mengoptimalkan pengelolaan seluruh potensi sumber daya di
Lampung untuk kesejahteraan masyarakat di Lampung.
Propinsi Lampung pada masa awal terbentuk
dengan terdapat tiga Kabupaten yang sudah ada sebelumnya (masa Karesidenan).
Karena begitu luasnya wilayah yang harus di kelola dan dibangun oleh Propinsi
Lampung, maka pada masyarakat pesisir barat Lampung muncul wacana baru dengan
tujuan untuk mendukung dan menopang pemerintahan Propinsi Lampung dalam
membangun daerahnya agar lebih optimal, yaitu jalan wacana usulan pembentukan
kabupaten baru untuk wilayah Lampung bagian pesisir barat. Hal tersebut sangat
logis karena letak daerah tersebut sangat jauh dari pusat pemerintahan
Kabupaten Lampung Utara dan prasarana maupun sarana transportasi untuk ukuran
saat itu sangat menyulitkan dalam segala hal bila ada kaitannya dengan
urusan-urusan administratif dengan pihak Kabupaten. Pada tahun 1967 di kota
Kawedanan krui dilaksanakan musyawarah bersama antara Keluarga Pelajar dan
Mahasiswa (KKM) asal pesisir barat Lampung dan tokoh-tokoh masyarakat adat
pesisir barat Lampung, yang menghasilkan keputusan terbentuknya Pantia Nasional
dan Panitia Eksekutif untuk pembentukan kabupaten baru dengan nama Kabupaten
Lampung Barat (menyesuaikan sebutan atau nama daerah kabupaten lain, yaitu
lampung Utara, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan, yang sudah ada yang memakai
letak geografisnya di Lampung untuk nama kabupatennya) dengan ibukota di Krui.
Posting Komentar